Menjadi suami dan bapak ideal dalam
rumah tangga? Tentu ini dambaan setiap lelaki, khususnya yang beriman kepada
Allah Ta’ala dan hari akhir. Dan tentu saja ini tidak mudah kecuali
bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
Sosok kepala rumah tangga ideal yang
sejati, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:
«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ
وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى»
“Sebaik-baik kalian adalah orang
yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluarganya dan aku adalah orang yang
paling baik (dalam bergaul) dengan keluargaku”1.
Karena kalau bukan kepada anggota
keluarganya seseorang berbuat baik, maka kepada siapa lagi dia akan berbuat
baik? Bukankah mereka yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan kasih sayang
dari suami dan bapak mereka karena kelemahan dan ketergantungan mereka
kepadanya?2. Kalau bukan kepada orang-orang yang
terdekat dan dicintainya seorang kepala rumah tangga bersabar menghadapi
perlakuan buruk, maka kepada siapa lagi dia bersabar?.
Imam al-Munawi berkata: “Dalam
hadits ini terdapat argumentasi yang menunjukkan (wajibnya) bergaul dengan baik
terhadap istri dan anak-anak, terlebih lagi anak-anak perempuan, (dengan)
bersabar menghadapi perlakuan buruk, akhlak kurang sopan dan kelemahan akal
mereka, serta (berusaha selalu) menyayangi mereka”3.
Potret
Kepala Keluarga Ideal Dalam Al-Qur-an
Allah Ta’ala menggambarkan
sosok dan sifat kepala keluarga ideal dalam beberapa ayat al-Qur-an, di
antaranya dalam firman-Nya:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ}
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS an-Nisaa’: 34).
Inilah sosok suami ideal, dialah lelaki yang mampu menjadi
pemimpin dalam arti yang sebenarnya bagi istri dan anak-anaknya. Memimpin
mereka artinya mengatur urusan mereka, memberikan nafkah untuk kebutuhan hidup
mereka, mendidik dan membimbing mereka dalam kebaikan, dengan memerintahkan
mereka menunaikan kewajiban-kewajiban dalam agama dan melarang mereka dari
hal-hal yang diharamkan dalam Islam, serta meluruskan penyimpangan yang ada pada
diri mereka4.
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:
{وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ
إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولا نَبِيًّا. وَكَانَ
يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا}
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad
kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya
dia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.
Dan dia (selalu) memerintahkan kepada keluarganya untuk (menunaikan) shalat dan
(membayar) zakat, dan dia adalah seorang yang di
ridhoi di sisi Allah” (QS
Maryam: 54-55).
Inilah potret hamba yang mulia dan
kepala rumah tangga ideal, Nabi Ismail ‘alaihissalam, sempurna imannya
kepada Allah, shaleh dan kuat dalam menunaikan ketaatan kepada-Nya, sehingga
beliau ‘alaihissalam meraih keridhaan-Nya. Tidak cukup sampai di
situ, beliau ‘alaihissalam juga selalu membimbing dan memotivasi
anggota keluarganya untuk taat kepada Allah, karena mereka yang paling pertama
berhak mendapatkan bimbingannya5.
Demukian pula dalam ayat lain, Allah
Ta’ala berfirman:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
“Dan orang-orang yang berkata:
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam (panutan) bagi
orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqaan: 74).
Dalam ayat ini Allah Ta’ala
memuji hamba-hamba-Nya yang beriman karena mereka selalu mendokan dan
mengusahakan kebaikan dalam agama bagi anak-anak dan istri-istri mereka. Inilah
makna “qurratul ‘ain” (penyejuk hati) bagi orang-orang yang beriman di
dunia dan akhirat6.
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya
tentang makna ayat di atas, beliau berkata: “Allah akan memperlihatkan kepada
hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya
ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah, tidak ada sesuatupun yang lebih
menyejukkan pandangan mata (hati) seorang muslim dari pada ketika dia melihat
anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala”7.
Beberapa
Sifat Kepala Rumah Tangga Ideal
1. Shalih
Dan Taat Beribadah
Keshalehan dan ketakwaan seorang
hamba adalah ukuran kemuliaannya di sisi Allah Ta’ala, sebagaimana dalam
firman-Nya:
{إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ}
“Sesungguhnya orang yang paling
mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” (QS
al-Hujuraat: 13).
Seorang kepala rumah tangga yang
selalu taat kepada Allah Ta’ala akan dimudahkan segala urusannya,
baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun yang berhubungan dengan
anggota keluarganya. Allah Ta’ala berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ
لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah
yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya”
(QS. ath-Thalaaq:2-3).
Dalam ayat berikutnya Allah
berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ
لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada
Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya”
(QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah Ta’ala akan
meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan
keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)8.
Bahkan dengan ketakwaan seorang
kepala rumah tangga, dengan menjaga batasan-batasan syariat-Nya, Allah Ta’ala akan
memudahkan penjagaan dan taufik-Nya untuk dirinya dan keluarganya, sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Jagalah
(batasan-batasan/syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah
(batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu”9.
Makna “menjaga
(batasan-batasan/syariat) Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan
selalu beribadah kepada-Nya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya10. Dan makna “kamu akan
mendapati-Nya dihadapanmu”: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi
pertolongan dan taufik-Nya kepadamu11.
Penjagaan Allah Ta’ala dalam
hadits ini juga mencakup penjagaan terhadap anggota keluarga hamba yang
bertakwa tersebut12.
2.
Bertanggung Jawab Memberi Nafkah Untuk Keluarga
Menafkahi keluarga dengan benar
adalah salah satu kewajiban utama seorang kepala keluarga dan dengan inilah di
antaranya dia disebut pemimpin bagi anggota keluarganya. Allah Ta’ala berfirman:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا
مِنْ أَمْوَالِهِمْ}
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS an-Nisaa’:
34).
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala
berfirman:
{وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ}
“Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS al-Baqarah: 233).
Dalam hadits yang shahih, ketika
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya tentang hak seorang istri
atas suaminya, beliau r bersabda: “Hendaknya dia memberi
(nafkah untuk) makanan bagi istrinya sebagaimana yang dimakannya, memberi
(nafkah untuk) pakaian baginya sebagaimana yang dipakainya, tidak memukul
wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya
kecuali di dalam rumah (saja)”13.
Tentu saja maksud pemberian nafkah
di sini adalah yang mencukupi dan sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan dan
tidak kurang. Karena termasuk sifat hamba-hamba Allah Ta’ala yang
bertakwa adalah mereka selalu mengatur pengeluaran harta mereka agar tidak
terlalu boros adan tidak juga kikir. Allah Ta’ala berfirman:
{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ
يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}
“Dan (hamba-hamba Allah yang
beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
mereka) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al-Furqaan:67).
Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan)
dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan
itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam
(menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi
mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan
sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan)14.
Ini semua mereka lakukan bukan
karena cinta yang berlebihan kepada harta, tapi kerena mereka takut akan
pertanggungjawaban harta tersebut di hadapan Allah Ta’ala di hari kiamat
kelak. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Tidak akan
bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya
(dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang
ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana
diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa
digunakannya”15.
3.
Memperhatikan Pendidikan Agama Bagi Keluarga
Ini adalah kewajiban utama seorang
kepala rumah tangga terhadap anggota keluarganya. Allah Ta’ala
berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu,
ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah
kebaikan untuk dirimu sendiri dan keluargamu”16.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata:
“Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri
untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat
dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun
memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka)
adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta
memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak
akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan
perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang
dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”17.
Dalam sebuah hadits shahih, ketika
shahabat yang mulia, Malik bin al-Huwairits radhiallahu’anhu dan
kaumnya mengunjungi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selama dua
puluh hari untuk mempelajari al-Qur-an dan sunnah beliau, kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda kepada mereka: “Pulanglah kepada keluargamu,
tinggallah bersama mereka dan ajarkanlah (petunjuk Allah Ta’ala) kepada mereka”18.
4.
Pembimbing Dan Motivator
Seorang kepala keluarga adalah
pemimpin dalam rumah tangganya, ini berarti dialah yang bertanggung jawab atas
semua kebaikan dan keburukan dalam rumah tangganya dan dialah yang punya
kekuasaan, dengan izin Allah Ta’ala, untuk membimbing dan memotivasi
anggota keluarganya dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian
semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya…seorang
suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban
tentang mereka”19.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam mencontohkan sebaik-baik teladan sebagai pembimbing dan motivator.
Dalam banyak hadits yang shahih, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam selalu
memberikan bimbingan yang baik kepada orang-orang yang berbuat salah, sampaipun
kepada anak yang masih kecil.
Beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam pernah melihat seorang anak kecil yang berlaku kurang sopan
ketika makan, maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menegur dan
membimbing anak tersebut, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (ketika hendak makan), makanlah
dengan tangan kananmu dan makanlah (makanan) yang ada di depanmu”20.
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pernah melarang cucu beliau, Hasan bin ‘Ali radhiallahu’anhu memakan
kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan masih kecil, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut,
kemudian beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Apakah
kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan
keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”21.
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di
antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan
mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang
mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan)
melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum
dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut22.
Memotivasi anggota keluarga dalam
kebaikan juga dilakukan dengan mencontohkan dan mengajak anggota keluarga
mengerjakan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dalam Islam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun
di malam hari lalu dia melaksanakan shalat (malam), kemudian dia membangunkan
istrinya, kalau istrinya enggan maka dia akan memercikkan air pada wajahnya…”23.
Teladan baik yang dicontohkan
seorang kepala keluarga kepada anggota keluarganya merupakan sebab, setelah
taufik dari Allah Ta’ala untuk memudahkan mereka menerima nasehat dan
bimbingannya. Sebaliknya, contoh buruk yang ditampilkannya merupakan sebab
besar jatuhnya wibawanya di mata mereka.
Imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah
ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibrahim al-Harbi24. Dari Muqatil bin Muhammad
al-’Ataki, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui
Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini
anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku):
“Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah,
sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”25.
5. Bersikap
Baik Dan Sabar Dalam Menghadapi Perlakuan Buruk Anggota Keluarganya
Seorang pemimpin keluarga yang bijak
tentu mampu memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada anggota
keluarganya, kemudian bersabar dalam menghadapi dan meluruskannya.
Ini termasuk pergaulan baik terhadap
keluarga yang
diperintahkan dalam firman Allah Ta’ala:
{وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ
فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا}
“Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak” (QS an-Nisaa’: 19).
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “Berwasiatlah untuk berbuat baik kepada kaum wanita,
karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), dan
bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atas, maka jika
kamu meluruskannya (berarti) kamu mematahkannya, dan kalau kamu membiarkannya
maka dia akan terus bemgkok, maka berwasiatlah (untuk berbuat baik) kepada kaum
wanita”26.
Seorang istri bagaimanapun baik
sifat asalnya, tetap saja dia adalah seorang perempuan yang lemah dan asalnya
susah untuk diluruskan, karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok,
ditambah lagi dengan kekurangan pada akalnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
“إن المرأة خلقت من ضلع لن تستقيم لك
على طريقة”
“Sesungguhnya perempuan
diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), (sehingga) dia tidak bisa
terus-menerus (dalam keadaan) lurus jalan (hidup)nya”27.
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menyifati perempuan sebagai:
“…ناقصات عقل ودين”
“…Orang-orang yang kurang (lemah)
akal dan agamanya”28.
Maka seorang istri yang demikian
keadaannya tentu sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari seorang
laki-laki yang memiliki akal, kekuatan, kesabaran, dan keteguhan pendirian yang
melebihi perempuan29. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala
menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin dan penegak urusan kaum perempuan.
Seorang laki-laki yang beriman tentu
akan selalu menggunakan pertimbangan akal sehatnya ketika menghadapi perlakuan
kurang baik dari orang lain, untuk kemudian dia berusaha menasehati dan
meluruskannya dengan cara yang baik dan bijak, terlebih lagi jika orang
tersebut adalah orang yang terdekat dengannya, yaitu istri dan anak-anaknya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah seorang
lelaki beriman membenci seorang wanita beriman, kalau dia tidak menyukai
satu akhlaknya, maka dia akan meridhai/menyukai akhlaknya yang lain”30.
6. Selalu
Mendoakan Kebaikan Bagi Anak Dan Istrinya
Termasuk sifat hamba-hamba Allah Ta’ala
yang beriman adalah selalu mendoakan kebaikan bagi dirinya dan anggota
keluarganya. Allah Ta’ala berfirman:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
“Dan orang-orang yang berkata:
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam
(panutan) bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqaan: 74).
Dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menjelaskan tentang kewajiban seorang suami terhadap istrinya,
diantaranya: “…Dan tidak mendokan keburukan baginya”31.
Maka kepala keluarga yang ideal
tentu akan selalu mengusahakan dan mendoakan kebaikan bagi anggota keluarganya,
istri dan anak-anaknya, bahkan inilah yang menjadi sebab terhiburnya hatinya,
yaitu ketika menyaksikan orang-orang yang dicintainya selalu menunaikan
ketaatan kepada Allah Ta’ala32.
Penutup
Demikianlah, semoga tulisan ini
bermanfaat dan menjadi motivasi bagi orang-orang yang beriman, khusunya para
kepala keluarga, untuk menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji ini, untuk menjadikan mereka meraih
kemuliaan dan kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat bersama anggota keluarga mereka, dengan taufik dari Allah Ta’ala.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد
وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Catatan Kaki
1 HR at-Tirmidzi (no. 3895) dan Ibnu
Hibban (no. 4177), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan
Syaikh al-Albani.
2 Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi”
(4/273).
3 Kitab “Faidul Qadiir”
(3/498).
4 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir”
(1/653) dan “Taissirul kariimir Rahmaan” (hal. 177)..
5 Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir”
(3/169) dan “Taissirul kariimir Rahmaan” (hal. 496).
6 Lihat kitab “Fathul Qadiir”
(4/131).
7 Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).
8 Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
9 HR at-Tirmidzi (no. 2516), Ahmad (1/293) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Shahihul jaami’ish shagiir” (no. 7957).
10 Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 229).
11 Ibid (hal. 233).
12 Ibid.
13 HR Abu Dawud (no. 2142) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
7 Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).
8 Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
9 HR at-Tirmidzi (no. 2516), Ahmad (1/293) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Shahihul jaami’ish shagiir” (no. 7957).
10 Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 229).
11 Ibid (hal. 233).
12 Ibid.
13 HR Abu Dawud (no. 2142) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
14 Kitab “Tafsir Ibnu Katsir”
(3/433).
15 HR at-Tirmidzi (no. 2417),
ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi
dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang
saling menguatkan.
16 Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “Al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
17 Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
16 Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “Al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
17 Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
18 HSR al-Bukhari (no. 602).
19 HSR al-Bukhari (no. 2278) dan
Muslim (no. 1829).
20 HSR al-Bukhari (no. 5061) dan Muslim (no. 2022).
21 HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
22 Fathul Baari (3/355).
20 HSR al-Bukhari (no. 5061) dan Muslim (no. 2022).
21 HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
22 Fathul Baari (3/355).
23 HR Abu Dawud (no. 1308) dan Ibnu
Majah (no. 1336), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
24 Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala‘” (13/356).
25 Shifatush shafwah (2/409).
26 HSR al-Bukhari (no. 3153) dan Muslim (no. 1468).
27 HSR Muslim (no. 1468).
28 HSR al-Bukhari (no. 298) dan Muslim (no. 132).
29 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 101).
30 HSR Muslim (no. 1469).
31 HR Abu Dawud (no. 2142) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
32 Sebagaimana yang telah kami nukil di atas tentang makna ayat ini.
24 Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala‘” (13/356).
25 Shifatush shafwah (2/409).
26 HSR al-Bukhari (no. 3153) dan Muslim (no. 1468).
27 HSR Muslim (no. 1468).
28 HSR al-Bukhari (no. 298) dan Muslim (no. 132).
29 Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 101).
30 HSR Muslim (no. 1469).
31 HR Abu Dawud (no. 2142) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
32 Sebagaimana yang telah kami nukil di atas tentang makna ayat ini.
—
Penulis: Abdullah bin Taslim Al Buthoni, MA.
Dari artikel ‘Potret Suami Ideal Dalam
Rumah Tangga — Muslim.Or.Id‘
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
your testimonial